Saturday, April 23, 2016

PENGERTIAN QIYAS



. Qiyas

1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua 
kejadian atau peristiwa itu
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang 
boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
4. Rukun qiyas

Ada empat rukun giyas, yaitu
1.Ashal, yang berarti pokok,
2. Fara' yang berarti cabang
3. Hukum ashal,

4. 'IIIat,
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata.
2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,
3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum,
4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja,
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
b. Munasib mulaim
c. Munasib mursal
d.Munasib mulghaa
2. istihsan
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu





Suatu hari Imam Syafi'i bermimpi Nabi Saw. Dalam mimpinya Rosululloh Saw berkata kepada Imam Syafi'i : "Sampaikanlah kepada Ahmad bin Hambal, bahwa Ia akan masuk Surga ".
Pagi harinya, Imam Syafi'i menulis surat kepada Imam Ahmad bin Hambal, mengabarkan tentang mimpinya.
Imam Syafi'i mengutus seseorang untuk menyampaikan surat tersebut kepada Imam Ahmad bin Hambal. Setelah utusan itu menyampaikan surat itu, Imam Ahmad merasa sangat gembira, lalu berkata kepada sang Utusan : "Aku tidak memiliki apa2 untuk aku hadiahkan kepadamu, kecuali gamis yang aku pakai ini, Ambillah untukmu !" Kata Imam Ahmad sambil melepas dan memberikan Gamis tersebut.
Ketika utusan itu telah kembali kepada Imam Syafi'i, ia menceritakan apa yang terjadi. Imam Syafi'i pun berkata : "Pinjamkanlah Gamis itu kepadaku, aku akan mencucinya dan bertabarruk dengan airnya !". Setelah Utusan itu memberikan Gamis hadiah dari Imam Hambal, Imam Syafi'i lalu mencuci dan menyimpan air bekas cuciannya untuk mengobati orang yang sakit.
Demikianlah kebiasaan Para Salaf, Mereka melihat keutamaan pada diri Orang lain. (Seorang murid hendaknya menghormati gurunya, begitu pula seorang guru hendaknya menghormati muridnya)..
Foto