Monday, August 8, 2016

PENGARUH KEBUDAYAAN ARAB DI NUSANTARA

Pengaruh Budaya Arab di Nusantara
1. Tahun Masuknya Budaya/Peradaban Arab ke Nusantara
Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama :
a. Abad 9-11 Masehi
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.
b. Abad 12-15 Masehi
Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Ia besama putra-putra berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat utamanya dari kalangan istana-istana Hindu.
c. Abad 16-19 Masehi
Abad ini adalah gelombang terakhir ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Selain itu dapat ditandai dengan marga yang kita kenal sekarang seperti Alatas, Assegaf, Al Jufri, Alaydrus, Syihab, Syahab, dll. Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah As Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14-15 M. Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati. Berdasarkan taksiran pada 1366 H (atau sekitar 57 tahun lalu), jumlah mereka sekarang tidak kurang dari 70 ribu jiwa. Ini terdiri dari kurang lebih 200 marga.
2. Cara Penyebaran di Nusantara
Berbicara kebudayaan Islam tentunya akan selalu bersinggungan dengan budaya Arab dan Timur-Tengah. Perlu dicatat bahwa tidak semua masyarakat Timur Tengah merupakan orang Arab. Orang Iran, misalnya, adalah orang bangsa Persia, yang memiliki bahasa serta budaya tersendiri—meskipun dalam ha-hal tertentu ada kesamaan dengan budaya Arab. Maka dari itu, menghubungkan budaya Islam dengan hanya budaya Arab tentunya kurang adil. Apalagi, persebaran Islam di Indonesia dilakukan bukan hanya oleh satu bangsa saja, melainkan oleh berbagai bangsa yang berdagang di Indonesia: orang Arab sendiri, Persia, Moor, India, bahkan Cina.
Persebaran Islam di Indonesia tak serempak terjadi dalam waktu yang sama, melainkan berproses melalui aktifitas dagang dan sosial. Oleh karena itu, kekentalan pengaruh budaya dan ajaran Islam di tiap-tiap tempat di Indonesia tentunya berbeda-beda. Ada masyarakat yang nuansa Islamnya kental, seperti Aceh atau Banten; adapula masyarakat yang nilai “kefanatikan” Islamnya tidak begitu kentara, seperti di Jawa.
Arab-Persia berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak antara Arab-Persia dengan kepulauan nusantara sebagian besar berlangsung di wilayah pesisir pantai. Utamanya lewat proses perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang bangsa Persia, Arab, dan India Gujarat. Kontak-kontak ini, pada perkembangannya, memunculkan proses akulturisasi budaya. Arab-Persia kemudian muncul sebagai “competing” culture India.
Masuk dan berkembangnya pengaruh agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia diperkuat dengan beberapa sumber berita sejarah, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Sumber-sumber berita itu di antaranya sebagai berikut.
1. Berita Arab Berita ini diketahui melalui para pedagang Arab yang melakukan aktivitasnya dalam bidang perdagangan dengan bangsa Indonesia. Para pedagang Arab telah datang ke Indonesia sejak masa Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran-perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada masa itu. Hubungan pedagang Arab dengan Kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya sebutan para pedagang Arab untuk Kerajaan Sriwijaya, yaitu Zabaq, Zabay atau Sribusa.
2. Berita Eropa Berita ini datangnya dari Marco Polo. la adalah orang Eropa yang kali pertama menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia, ketika ia kembali dari China menuju Eropa melalui jalan laut. la mendapat tugas dari kaisar China untuk mengantarkan putrinya yang dipersembahkan kepada kaisar Romawi. Dalam perjalanannya itu ia singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah ini ia telah menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Samudera dengan sebagai ibukota Pasai.
3. Berita India Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyai peranan penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia. Karena di samping berdagang, mereka aktif mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada setiap masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yang terletak di daerah pesisir pantai.
4. Berita China Berita ini berhasil diketahui melalui catatan dari Ma-Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. la menyatakan melalui tulisannya bahwa sejak kira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulau Jawa.
M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan 2 proses masuknya Arab-Persia ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya.
3. Bentuk Ragam Budaya yang di sebarkan (Fisik dan Non Fisik)
Ragam Budaya Fisik
Semakin signifikannya pengaruh Arab-Persia di nusantara adalah dengan berdirinya sejumlah kerajaan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku) penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460. Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun 1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi Selatan telah dikuasai penguasa Islam.
Dalam bidang kebudayaan, pengaruh Islam begitu kental sekali, baik dalam bahasa, kesusastraan, arsitektur, seni kaligrafi, nama-nama hari dan orang, seni tarian dan musik. Bagi orang santri, cara berpakaian pun sangat kental nuansa Timur-Tengahnya.
Ragam Budaya Non Fisik
Bagi kebanyakan orang Indonesia, Arab selalu dihubungkan dengan kekayaan, kekerasan, kasar, dan pemarah. budaya yang ada:
1. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari 200 juta jiwa dan digunakan secara resmi di lebih dari 22 negara. Secara umum bahasa Arab memiliki dua varietas, pertama bahasa Arab Fusha (bahasa Arab standar/baku) dan kedua bahasa Arab `Amiyyah (bahasa Arab pasaran).
2. Komunikasi bisa berbentuk verbal maupun non-verbal.
3. Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama Islam (mungkin 100%), ini tidak berarti bahwa cara dan etika mereka dalam berkomunikasi selalu santun seperti diajarkan Al-quran dan Sunnah. Sebagian dari cara mereka berkomunikasi bersifat kultural semata-mata.
4. Gaya komunikasi orang Arab, seperti gaya komunikasi orang-orang Timur Tengah umumnya, bebeda dengan pembicara orang-orang Barat (Amerika atau Jerman) yang berbicara langsung dan lugas. Dengan kata lain, orang Arab masih tidak berbicara apa adanya, masih kurang jelas dan kurang langsung. Umumnya orang Arab suka berbicara berlebihan dan banyak basi-basi (mujamalah). Misalnya, bila seorang Saudi bertemu temannya, maka untuk sekedar tanya kabar, tak cukup sekali dengan satu ungkapan.
5. Masih banyak isyarat non-verbal khas Arab lainnya yang berbeda makna dengan isyarat non-verbal ala Indonesia. Misalnya, ketika bertemu dengan kawan akrab, mereka terbiasa saling merangkul seraya mencium pipi, saling berdekatan dan bersentuhan sehingga senggol menyenggol itu hal biasa di mana pun di Arab Saudi yang tidak perlu mereka iringi dengan permintaan maaf.  Orang lain yang tidak memahami budaya Arab akan menganggap perilaku tersebut sebagai perilaku yang menyimpang aturan/agama.
6. Sejak kanak-kanak orang Arab dianjurkan untuk mengekspresikan perasaan mereka apa adanya, misalnya dengan menangis atau berteriak. Orang Arab terbiasa bersuara keras untuk mengekspresikan kekuatan dan ketulusan, apalagi kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab, suara lemah dianggap sebagai kelemahan atau tipu daya. Tetapi suara keras mereka boleh jadi ditafsirkan sebagai kemarahan oleh orang yang tidak terbiasa mendengar suara keras mereka.
7. Budaya/tradisi Arab mementingkan keramahtamahan terhadap tamu, kemurahan hati, keberanian, kehormatan, dan harga-diri.
8. Aturan/rambu-rambu lalu lintas yang berlaku di Arab Saudi berbeda 180ยบ dengan aturan yang berlaku di negara kita. semua pengguna jalan termasuk waktu menaikkan maupun menurunkan penumpang, mereka wajib menepi ke sebelah kanan jalan.
9. Bagi orang Saudi, rumah betul-betul menjadi bagian privacy yang tak semua orang bisa mengakses ke dalam dengan mudahnya, sebagaimana kebiasaan kita di Indonesia. Desain rumah yang umumnya `hanya` berbentuk segi empat bertingkat seolah-olah menggambarkan bangunan sebuah benteng yang sulit ditembus.
10. Busana orang Saudi hampir semua sama. Bagi kaum Adam,mereka semua memakai pakaian putih yang biasa disebut `tsaub` dengan sorban motif kotak-kotak kecil berwarna putih-merah plus diikat dengan `igal` di kepala.Bagi kaum Hawa, mereka memakai pakaian (long dress) tertutup disertai dengan cadar yang bewarna hitam.
4. Tokoh Agama/Kebudayaan
Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak di kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, alim-ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan/atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.
Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdul Rahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.
Pada zaman kejayaan kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, dan Banten), Sumatera (Aceh dan Siak), dan Kalimantan (Sambas, Pontianak, Kubu, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.
Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.
Di pulau Jawa, peranan mubaligh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan walisongo yang merupakan suatu majelis yang berjumlah sembilan orang. Majelis ini berlangsung dalam beberapa periode secara bersambung, mengganti ulama yang wafat / hijrah ke luar Jawa. Dari penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham, kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya tentang periode penyebaran islam oleh para ulama/wali tersebut.
1. Periode I    :
Penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim*, Maulana Ishaq(-), Ahmad Jumadil Qubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil*, Muhammad Al-Akbar*, Maulana Hasannudin, Aliyuddin*, dan Syeikh Subakir (-).
2. Periode II   :
Penyebaran Islam digantikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta), Ja’far Shiddiq (Sunan Kudus), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
3. Periode III :
hijrahnya Maulana Ishaq dan Syeikh Subakir, dan wafatnya Maulana Hassanudin dan Aliyuddin maka penyebar Islam pada periode ini dilakukan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Said (Sunan Kalijaga), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qashim (Sunan Drajat).
4. Periode IV             :
Penyebar Islam selanjutnya adalah Jumadil Kubra dan Muhammad Al-Maghribi dan kemudian digantikan oleh Raden Hasan (Raden Patah) dan Fadhilah Khan (Falatehan).
5. Periode V :
Untuk periode ini karena Raden Patah menjadi Sultan Demak maka yang menggantikan posisinya adalah Sunan Muria.
Proses masuk dan berkembangnya budaya dan ajaran agama Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para tokoh yang mengemukakan pendapat itu di antaranya ada yang langsung mengetahui tentang proses masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, tetapi ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang Barat (Eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia (ketika Indonesia dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat).
Tokoh-tokoh yang mengemukakan pendapat tentang keberadaan budaya dan ajaran agama Islam di Indonesia di antaranya:
Marco Polo (1292) Dalam perjalanan pulang dari negeri Cina, Marco Polo mengunjungi Pulau Sumatera. Pelabuhan yang pertama dikunjunginya bernama Ferlec (disamakan dengan Perlak). Menurut Marco Polo, daerah Perlak banyak dikunjungi oleh pedagang Muslim. Keberadaan pedagang Muslim itu dapat mengubah keyakinan penduduk asli untuk memeluk ajaran agama Islam. Berita dari Marco Polo merupakan berita tertua yang menyatakan bahwa di Indonesia telah berkembang sekelompok penduduk Muslim, terutama pada kota-kota yang terletak di tepi pantai atau di tepi jalur pelayaran dan perdagangan pada saat itu.
Mohammad Ghor Mohammad Ghor merupakan seorang tokoh yang berhasil menaklukkan dan menyebarkan Islam di Gujarat (India). Dalam penyebaran budaya dan ajaran agama Islam ke Indonesia, para pedagang Gujarat mempunyai peran yang sangat penting. Melalui hubungan yang dijalin antara para pedagang Gujarat dengan para pedagang dari Indonesia itulah budaya dan ajaran agama Islam berkembang ke Indonesia.
Ibn Batuta Ibn Batuta telah dua kali melakukan perjalanan ke dan dari China (1345-1346). la menemukan satu kerajaan Islam. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Sultan yang mengikuti upacara Syafi’i. Ibn Batuta juga menyatakan bahwa daerah-daerah yang berada di sekitar negeri itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Ibn Batuta juga menemukan satu makam Islam di kota Samudera yang berangka tahun 1421. Penemuan makam bercorak Islam ini, menandakan di daerah Samudera pada waktu itu telah berkembang agama Islam
Diego Lopez de Sequeira Pada tahun 1509 Diego Lopez de Sequeira mengunjungi Pasai. la berpendapat bahwa Pasai merupakan pusat penyebar¬an budaya dan ajaran agama Islam terpenting dan pertama di Indonesia. Bahkan dari daerah Pasai inilah budaya dan ajaran agama Islam kemudian berkembang ke berbagai daerah di Indonesia.
Sir Richard Winsted menyatakan bahwa Parameswara (raja Malaka) telah memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Syah. Hal ini dilakukan karena Malaka mempunyai posisi yang sangat strategis dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Malaka. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya Malaka dijadikan sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, termasuk juga ke Indonesia.
Melalui beberapa pendapat tersebut, diketahui bahwa budaya dan ajaran agama Islam telah berkembang di Indonesia. Diawali dengan perkembangan dan munculnya Kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Dari Samudera Pasai inilah budaya dan ajaran agama Islam berkembang ke seluruh wilayah Indonesia. Namun, selain tokoh-tokoh tersebut, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang menyebutkan tentang masuk dan berkembangnya budaya dan ajaran agama Islam ke Indonesia.Sejak awal Masehi – atau mungkin lebih tua dari itu – wilayah yang kini disebut “NKRI” (Negara Kesatuan Republik Indonesia), bahkan Asia Tenggara telah menjadi wilayah saling silang dan saling padu pengaruh asing semisal Cina, India, Arab, Persia dan Eropa. Hingga abad-16 hal tersebut berlangsung relatif damai, semua untung. Boleh dibilang tidak ada apa yang disebut dengan “penjajahan”.
Suasana damai tersebut berubah pada abad-16, ketika sejumlah bangsa-bangsa Eropa/Barat hadir ke Asia Tenggara – termasuk ke Kepulauan Indonesia. Mereka hadir dengan perilaku yang berbeda dengan bangsa-bangsa sebelumnya, yaitu memaksakan kehendaknya kepada fihak lain sehingga berkobar konflik yang berdarah-darah. Selain bersaing dengan bangsa Asia, mereka juga bersaing sengit dengan sesamanya – juga hingga berdarah-darah. Khusus di Indonesia – waktu itu dikenal dengan “Nederlandsch Indiche”, masuk abad-20 bangsa Eropa yaitu Belanda memastikan diri sebagai pemenang persaingan dan menjadi penguasa/penjajah. Dengan pengecualian di Kalimantan harus berbagi dengan Inggris, di Timor harus berbagi dengan Portugis dan di Papua harus berbagi dengan Jerman dan Australia.
Perang Dunia-2 (1939-45) berakibat sejumlah bangsa-bangsa di Asia Tenggara meraih kemerdekaan, ada yang melalui transisi namun ada yang melalui revolusi semisal Indonesia.
Kemerdekaan yang diraih tersebut ternyata tidak dapat mengembalikan suasana saling silang dan saling padu pengaruh asing untuk berlangsung dengan damai. Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara sempat terlibat konflik – yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar wilayah tersebut., mengingat wilayah tersebut bernilai sangat strategis sejak lama. Selat Malaka misalnya, sejak awal Masehi telah menjadi jalur laut penting dan masih demikian walaupun sudah ada pesawat terbang/perhubungan udara. Dengan demikian Asia Tenggara – khususnya Indonesia – masih merupakan wilayah menggiurkan : wilayah luas, letak strategis, alam kaya dan penduduk (umumnya) masih terbelakang. Terlalu berharga diabaikan begitu saja. Akibatnya, kemerdekaan yang diraih ternyata tidak membuat fihak asing berhenti mencari peluang menanamkan pengaruhnya. Supaya negara/bangsa di wilayah Asia Tenggara tetap merasa dekat – kalau perlu terikat/tergantung. Dengan kata lain, penjajahan pada hakikatnya belum mati, ia hanya berganti yaitu cara dan rupa. Penjajahan bukanlah suatu barang antik yang layak masuk museum, ia sukses menembus ruang dan waktu selama dunia masih ada. Bahkan pada zaman kita ini pun penjajahan model zaman batu yaitu pendudukan militer asing di suatu negeri ternyata masih ada semisal Palestina, “Iraq dan Afghanistan. Padahal ketiga negeri tersebut kurang menggiurkan dibanding Asia Tenggara.
Perlu diketahui bahwa penjajahan mencakup 3 hal, dan penjajah berusaha memenuhi keinginannya minimal 1 hal. Adapun 3 hal tersebut adalah :
1. Ekploitasi dibidang ekonomi, inilah motif paling dasar penjajahan. Penjajah berusaha meraih negeri yang sekaya mungkin sumber alamnya untuk mengeruknya dengan memberi pribumi sesedikit mungkin.
2. Dominasi dibidang politik, kekuasaan politik sedapat mungkin dipegang oleh penjajah. Suatu negeri diatur menurut kepentingannya dan pribumi menjadi golongan yang diperintah.
3. Penetrasi dibidang nilai/norma, penjajah sedapat mungkin memasukkan nilai/norma yang mereka anut ke dalam tata hidup pribumi. Nilai/norma tersebut dapat berupa agama atau budaya supaya terdapat kesamaan antara penjajah dengan yang dijajah. Hal tersebut membuat penjajah makin mudah mengatur tanah/warga jajahannya.
Dalam konteks Indonesia pasca Perang Dunia-2 dan perang kemerdekaan/Revolusi 1945 (1945-50), sejumlah kekuatan asing berangsur-angsur kembali menanamkan pengaruh. Hal tersebut begitu tertolong karena ada saja sejumlah anak bangsa yang bersedia menjadi antek, umumnya mereka sudah bermental korup. Demi memperkaya diri, mereka tidak segan-segan menjadi alat fihak asing menggadaikan bangsa dan negaranya dengan sejumlah imbalan. Buat para antek, mereka cenderung tidak peduli apakah sumber daya alamnya dikuasai (dan tentu dikuras) fihak asing. Yang penting dapat bagian.
Yang memprihatinkan, para antek tersebar di segala level – bahkan ada yang menjadi elit di pemerintahan. Jabatan yang mereka sandang serta gaji dari uang rakyat melalui pajak, yang mestinya digunakan untuk mengabdi “habis-habisan” untuk rakyat ternyata diselewengkan untuk tujuan yang berlawanan dengan itu. Melalui mereka, entah sudah berapa banyak sumber daya alam negeri ini yang sudah dikuasai/dikeruk fihak asing. Entah sudah berapa % saham aset nasional yang sudah bukan milik bangsa ini lagi. Indonesia mengalami model penjajahan yang jauh-jauh hari sudah diperingatkan oleh Bung Karno dengan istilah “nekolim” (neo imperialisme/kolonialisme). Tidak perlu ada pendudukan militer asing di Indonesia, negeri ini telah “menyediakan” sejumlah anak bangsa yang menjadi antek yang siap melaksanakan agenda asing.
Selain eksploitasi dibidang ekonomi (yang samar-samar juga disebabkan oleh dominasi dibidang politik yaitu para antek yang menjadi elit), Indonesia juga tanpa terasa juga disusupi oleh berbagai nilai/norma asing : dari yang paling liberal (liberalisme) hingga yang paling radikal/fundamental (radikalisme/fundamentalisme). Setiap kepentingan asing ada anteknya. Negeri ini menjadi lahan pertarungan sengit sejumlah kekuatan asing tanpa kita sadari. Kita jalani hidup sehari-hari semisal pergi ke sekolah, ke kantor, ke pasar atau ke tempat wisata seakan-akan tidak terjadi hal-hal yang krusial di negeri ini.
Pertanyaan yang mungkin muncul, siapakah fihak asing yang turut “bermain” di negeri ini? Siapa yang bertekad meraih minimal sepotong atau secuil pengaruh di negeri ini? Penulis menilai banyak, mungkin sulit dihitung atau dideteksi. Karena itu penulis coba batasi menyebut “para pemain” pada 4 fihak saja, dengan pertimbangan mereka relatif besar berpengaruh di negeri ini.
1. Barat, sudah penulis sebut mereka yang pertama mengenalkan penjajahan pada abad-16. Dimulai sejak penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis, bangsa Potugis adalah bangsa Barat pertama hadir bukan hanya sebagai pedagang, pelaut atau perantau namun juga sebagai penjajah. Kehadiran Portugis kemudian diikuti bangsa-bangsa Barat lain dengan tujuan serupa semisal Spanyol, Inggris, Belanda dan Perancis. Kehadiran mereka mengundang perlawanan dari pribumi dan juga bangsa-bangsa Asia lainnya. Bangsa-bangsa Asia kelak terpancing untuk berbuat serupa. Perang Dunia-2 yang berakibat harus melepas wilayah jajahan termasuk Indonesia tidak membuat mereka “kapok” untuk hadir kembali (tetap sebagai penjajah) dalam bentuk lain yang sesamar mungkin. Di atas telah disebut peran para antek yang membuat mereka masih punya pengaruh di Indonesia, antara lain faham liberalisme dengan berbagai dalil (atau dalih?) hak azazi manusia dan demokrasi.
2. Jepang, bangsa Asia yang mungkin pertama paling sukses merebut pengaruh dengan cara gerakan militer. Jepang merasa sesak menyaksikan sekitar 80% planit ini dikuasai Barat dengan berbagai istilah : koloni, protektorat atau mandat. Muncul ide bahwa “Asia untuk orang Asia” – yang dapat (dan memang) diartikan bahwa penjajahan di Asia hanya boleh dilakukan oleh orang Asia, dan bangsa Asia yang paling canggih adalah Jepang. Pada awal Perang Pasifik (1941-5) banyak wilayah jajahan Barat di Asia-Pasifik sempat direbut oleh pasukan Jepang. Setelah melalui perang yang dahsyat kekuatan Barat – dengan istilah “Sekutu” – dapat memaksa Jepang menyerah, namun warisan pendudukan Jepang yaitu semangat anti imperialisme Barat memaksa mereka melepas wilayah jajahannya. Dan Jepang sendiri sanggup bangkit dari puing-puing Perang Dunia-2 dan menjadi raksasa ekonomi selama beberapa dekade. Larangan mengembangkan kekuatan militer oleh Sekutu mengalihkan seluruh energi bangsa untuk menjadi kekuatan ekonomi – yang sempat mengalahkan para pemenang perang dunia. Produk-produk Jepang membanjiri seantero dunia. Dan mimpi lamanya yaitu “Kawasan Sekemakmuran Asia Timur Raya” yang gagal dicapai dengan penaklukan militer agaknya tercapai melalui ekonomi. Indonesia kembali menjadi wilayah penyedia bahan baku sekaligus pasar bagi produk Jepang. Kesepakatan kedua negera yang tertuang dalam “IJEPA” (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) 2007 dinilai sejumlah anak bangsa adalah “penjajahan Jepang jilid-2”, antara lain karena dalam kesepakatan tersebut Indonesia menjamin ketersediaan pasokan energi Jepang dengan LNG. Yang berarti dapat mengancam ketahanan atau kedaulatan energi dalam negeri. Selain itu sejumlah warisan buruk penjajahan Jepang saat Perang Dunia-2 dinilai sejumlah anak bangsa belum tuntas. Perjanjian pampasan perang yang mengawali hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada 1958 hanya mencakup kerusakan materi dan belum mencakup penderitaan lahir batin rakyat Indonesia.
3. Cina, setelah susah payah bangkit dari Perang Dunia-2 dan revolusi yang berbentuk perang saudara yang lama dan kejam, akhirnya terhitung menjadi kekuatan raksasa. Kebangkitan ekonominya berdampak pada kebangkitan militernya. Selain terlibat sengketa dengan Taiwan (Republik Cina) – yang dinilai sebagai provinsi pemberontak, juga terlibat sengketa dengan Jepang, Brunei, Vietnam, Filipina dan Malaysia terkait dengan klaim batas wilayah. Kesepakatan dalam bidang ekonomi yang berwujud perdagangan bebas dengan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara – lazim disebut “ASEAN” – dengan nama “ACFTA” (Asean-China Free Trade Agreement), ternyata berdampak besar bagi Indonesia. Banjir barang produk Cina bagai tsunami membuat para produsen negeri ini meratap dan tiarap, produk dalam negeri ternyata kalah bersaing dengan produk Cina. Hal tersebut berdampak pada kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja. Cina seakan siap menjadi kompetitor Jepang dalam hal ini. Dengan kata lain, Cina mendapat peluang berpengaruh di negeri ini dibidang ekonomi. “Ekspor” faham komunis dan manuver militer agaknya (masih) “jauh panggang dari api”. Indonesia tidak berbatasan langsung dengan Cina dan faham komunis masih dinyatakan terlarang di Indonesia.
4. Arab, agaknya ini kurang diperhatikan padahal usaha meraih pengaruh di negeri ini untuk atau dengan cara bertarung dengan fihak asing lain relatif sudah lama. Sejauh yang penulis tahu, pada akhir abad-18 atau awal abad-19 masuk faham pemurnian agama Islam yang disebut dengan “Muwwahid” namun kelak lebih dikenal dengan “Wahhabi”, nama yang dikaitkan dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Di Sumatera – tepatnya Minangkabau – sempat muncul revolusi yang awalnya melawan para tokoh adat lokal kemudian melawan penjajah, yang disebut dengan “Perang Paderi”(1821-37). Walau gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup hingga kini.
Nah, dalam tulisan ini penulis tertarik untuk membahas tentang pengaruh Timur Tengah/Asia Barat (baca : Arab) di Indonesia dengan pertimbangan :
1. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, dengan demikian nyaris semua pengaruh dari sana masuk dengan relatif mudah dan tak terasa. Bukan hanya yang terkait dengan agama namun juga budaya sana, ini dapat terjadi karena bangsa ini sulit membedakan mana agama Islam mana budaya Arab. Bangsa ini – bahkan bangsa lain – masih mengidentikkan Islam dengan Arab (atau Arab dengan Islam). Ada kecenderungan faham mayoritas bangsa ini bahwa untuk menjadi Muslim yang baik hendaklah “Arab minded” atau “menjadi Arab” : pakai gamis, surban, pelihara janggut atau perempuan pakai cadar.
2. Bangsa Arab dan bangsa Indonesia sama-sama mengalami penjajahan Barat. Indonesia dijajah Belanda dan Dunia Arab dibagi-bagi oleh penjajahan Inggris, Perancis, Spanyol dan Italia. Bahkan hingga kini kehadiran negara Israel dengan mencaplok Palestina adalah warisan penjajahan. Apa yang disebut “bangsa Israel” sesungguhnya adalah bangsa-bangsa Eropa yang (kebetulan) beragama Yahudi yang ditindas di benua tersebut lalu mengalir ke Palestina dengan bantuan Inggris, yang beberapa waktu menguasai Palestina dengan istilah halusnya “mandat”. Pendudukan militer asing di ‘Iraq yang dipimpin Amerika Serikat sejak 2003 semakin mengokohkan pendapat bahwa “Barat = penjajah”. Hal tesebut memudahkan muncul faham-faham yang disebut “garis keras” karena memakai kekerasan untuk mencapai tujuan, dengan istilah-istilah “radikalisme”, “fundamentalisme”, “ekstrimisme”, “militanisme” dan “terorisme”. Kesamaan agama yang dianut mayoritas kedua bangsa tersebut menyebabkan muncul solidaritas hingga faham garis keras tersebut masuk relatif mudah ke negeri ini.Penulis menilai sejak “Peristiwa WTC” 11/09/2011 faham garis keras dari Arab masuk (kembali) dengan begitu intens ke Asia Tenggara. Perang anti penjajah – dengan cap sebagai terorisme – yang dikobarkan kelompok “al-Qa-idah” pimpina Usamah bin Ladin ke seantero dunia juga terasa di Indonesia. Perang kolonial yang kemudian berlanjut dengan perselisihan – bahkan benturan – sesama anak bangsa antara pendukung faham “negara agama” (Islam) dengan “negara bangsa” (Pancasila) sejak lama, menjadikan negeri ini lahan subur bagi faham/gerakan garis keras. “Revolusi Darul Islam” yang sempat melahirkan “NII” (Negara Islam Indonesia) yang berdarah-darah, walaupun dapat ditumpas ternyata tidak dapat menghapus mimpi/ide tersebut. Pasca kekalahan Darul Islam, sejumlah pengikutnya bergerak merekrut anggota walaupun terus menerus dihambat oleh pemerintah. Perioda yang disebut “reformasi” pada 1998 memberi kebebasan para aktivis berazaz Islam – baik yang ekstrim maupun moderat – untuk bergerak dengan rasa lega.Peneyerbuan dan pendudukan pasukan asing pimpinan Amerika Serikat ke Afghanistan pasca Peristiwa WTC memaksa kaum militan bergerilya di dalam maupun di luar Afghanistan. Sel-sel al-Qa-idah pelan-pelan menyebar dan organisasi tersebut bukan hanya identik dengan nama organisasi namun juga telah menjadi ideologi kaum militan Muslim seantero dunia. Tambahan pula, sistem desentralisasi yang diterapkan kelompok tersebut menyebabkan aksi-aksi kaum militan dapat berlangsung terus walau pucuk pimpinan tertangkap atau terbunuh. Kematian Usamah bin Ladin pada awal Mei 2011 oleh sergapan pasukan khusus AS tidak mengakhiri aksi-aksi kaum militan. Mereka sudah tahu apa yang harus dikerjakan tanpa perlu izin atau perintah pucuk pimpinan.Di Indonesia, faham atau aktivis DI dan al-Qa’idah bertemu menghasilkan sejumlah aksi kekerasan (atau disebut teroris) semisal Bom Bali-1 (2002), Bom JW Marriott-1 (2003), Bom Kuningan (2004), Bom Bali-2 (2005) dan Bom Marriott & Ritz Carlton (2009). Dari keterangan resmi disebut ada aliran dana dari Timur Tengah dan seorang warga Timur Tengah terlibat. Walau aparat menangkap atau membunuh para tersangka, aksi-aksi militan masih berlanjut. Indonesia pasca Orde Baru seakan tak punya ideologi atau konsep yang jelas bagaimana mengelola negeri ini beserta isinya, ya alamnya ya manusianya. Keadaan tersebut agaknya merupakan peluang bagi sejumlah pengaruh/kepentingan asing untuk masuk dan bermain di negeri ini, termasuk dari Timur Tengah.Di atas telah disebut bahwa bangsa ini sulit membedakan mana Islam mana Arab. Dari riwayat Islam masuk kemari maka budaya Arab juga ikut masuk. Ciri budaya Arab antara lain feodal dan brutal, ini juga sama dengan budaya Indonesia. Sebelum pengaruh Timur Tengah masuk, riwayat kekerasan sudah ada di Indonesia mengingat sifat bangsa ini memang demikian. Masuknya pengaruh dari sana seakan “merestui” atau “melegalkan” kekerasan. Tatanan tidak adil baik level lokal maupun global menimbulkan reaksi keras dari fihak yang terpinggirkan atau tertindas dalam wujud tindak kekerasan. Sejak Orde Baru tumbang pemerintah seakan (terkesan) bimbang untuk menindak tegas aksi-aksi anarkis, pengalaman masa Orde Baru yang menindas yang berbeda faham dengan pemerintah membuat rakyat alergi atau trauma. Sehingga tindakan tegas dari pemerintah kini mudah dituduh sebagai melanggar hak azazi manusia.Ada lagi masalah, sebagai akibat cara-cara indoktrinasi ala Orde Baru melestarikan nilai-nilai kebangsaan atau menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila, rakyat trauma dengan segala simbol atau identitas bangsa semisal Pancasila, lagu “Indonesia Raya” – atau pelajaran sejarah bangsa yang disesuaikan dengan penguasa dengan maksud melegitimasi kekuasaan. Pemerintahlah yang menetapkan “siapa yang pahlawan” dan “siapa yang pengkhianat atau musuh bangsa/negara” dalam pelajaran sejarah.Akibatnya ketika rezim Orde Baru tumbang, pelajaran “Pendidikan Moral Pancasila” dan “Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa” dihapus dan dimasukkan ke dalam “Pendidikan Kewarganegaraan”. Inilah yang kelak dinilai sejumlah kalangan menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai kebangsaan. Korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, ekstrimisme, terorisme dianggap sebagai akibat dari lunturnya rasa identitas bangsa.Sebagai dampak dari faham-faham militan dari Timur Tengah, penulis sempat menemukan tulisan di internet dengan menampilkan istilah “imperialisme Arab” yang dari namanya kemungkinan ia non Muslim sekaligus pro (imperialisme) Barat. Dengan dalil (atau dalih?) menjaga kelestarian identitas bangsa, dengan lancar ia menulis bahwa ada imperialisme Arab dan telah hadir di Indonesia. Dengan antara lain menyebut sejumlah nama tokoh atau ormas keturunan Arab yang dinilai bertindak anarkis ia berusaha membuktikan bahwa kini “Indonesia dijajah Arab, bukan Barat”. Akhirnya ia mengusulkan supaya “keislaman di Indonesia menjadi Islam keindonesiaan” karena “Islam sudah hadir di Indonesia selama ratusan tahun”.Sepintas, tulisan tersebut masuk akal atau mengandung sejumlah kebenaran – dan mungkin penulisnya bermaksud baik. Namun setelah membaca sekian kali penulis menilai bahwa tulisan tersebut merusak citra Arab yang kelak dapat membahayakan citra kaum Muslim keseluruhan.1. Tulisan tersebut mencoba membuktikan bahwa penjajah bukan bangsa-bangsa Barat (yang mungkin sipenulis menganut agama yang sama dengan Barat). Tulisan tersebut seakan mengirim pesan,”Bukan cuma non Muslim – terutama Barat – yang menjadi penjajah, namun kaum Muslim juga ada yang menjadi penjajah yaitu Arab”. Ingatan bersama bangsa ini yang cuma mengenang Barat dan Jepang sebagai penjajah dicoba tambahkan dengan Arab/Muslim.
2. Muslim sudah lama dituduh atau dianggap dengan teroris, radikalis,ekstrimis, fundamentalis, anarkis. Tulisan tersebut seakan ingin menambahkan sebutan atau citra buruk sebagai “imperialis/kolonialis”. Arahnya adalah anggapan bahwa Muslim lebih jahat atau biadab dibanding Barat atau non Muslim lain. Barat diusahakan supaya cukup dikenal sebagai imperialis/kolonialis namun Muslim diusahakan dikenal sebagai imperialis/kolonialis selain sebagai teroris, radikalis, ekstrimis dan aduhai entah apa lagi gelar buruk yang disandang.Namun juga terkesan ada hikmah dari tulisan tersebut, penulis segera dapat menyimak maksud ini dan menyampaikan hal yang sudah lama tersimpan pada batin penulis.
1. Kaum Muslim – terutama Muslim di Indonesia – segera membuang anggapan bahwa bahwa untuk menjadi Muslim yang baik hendaklah menjadi “Arab minded” atau meniru Arab. Fahamilah bahwa Islam dan Arab adalah 2 hal yang berbeda, Islam hadir pertama kali di Arabia untuk memperadabkan (budaya/bangsa) Arab yang pada dasarnya tidak beradab.
2. Fahamilah bahwa Nabi Muhammad diutus untuk mengislamkan orang, bukan mengarabkan. Yang diubah dari umat manusia adalah spiritualnya, bukan identitas ras, suku atau bangsa. Seseorang dapat menjadi Muslim yang baik sekaligus tetap menjadi misalnya orang Cina, orang India, orang Jepang, orang Turki, atau orang Eropa.
3. Bangsa ini perlu memperkuat rasa identitasnya sebagai bangsa dengan cara menyajikan kembali pelajaran sejarah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dengan demikian bangsa ini tahu asal muasal atau proses terbentuknya bangsa dan negara ini. Metoda hafalan (nama orang, nama tempat, nama peristiwa dan tanggal peristiwa) harus diganti dengan metoda renungan atau analisa peristiwa yang dapat ditemukan relevansinya dengan zaman kini. Jadi, terasa ada kesinambungan antara masa lalu dengan masa kini.
4. Jika pelajaran Pancasila harus disajikan kembali, metodanya juga diubah. Jangan pakai metoda hafalan atau indoktrinasi, tapi pakai juga renungan atau analisa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
5. Segala dinamika yang terjadi pada masyarakat segera disimak dan dicari solusinya, jangan terkesan ada pembiaran oleh pemerintah atau menjadi komoditas politik. Hal tersebut perlu untuk memperkecil peluang fihak asing masuk dan bermain di negeri ini sesuai dengan agenda mereka.
6. Kurangi ketergantungan dengan fihak asing, Indonesia memiliki banyak hal yang tak dimiliki sejumlah fihak luar : alam kaya, wilayah luas dan letak strategis sungguh dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat jika dikelola dengan tepat. Kriterianya adalah selalu mengutamakan kepentingan nasional, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
7. Bangsa ini perlu suatu standar penyaring yang dapat mencegah faham-faham yang merugikan kepentingan nasional masuk ke negeri ini. Dengan demikian segala faham luar dapat memperkaya dan bukan memperdaya bangsa, atau keragaman di dalam adalah kekayaan dan bukan kerawanan bangsa.Usulan yang disajikan penulis masih dapat dibahas dan bukan satu-satunya kebenaran mutlak, artinya masih terbuka untuk penyempurnaan.Sejak awal Masehi – atau mungkin lebih tua dari itu – wilayah yang kini disebut “NKRI” (Negara Kesatuan Republik Indonesia), bahkan Asia Tenggara telah menjadi wilayah saling silang dan saling padu pengaruh asing semisal Cina, India, Arab, Persia dan Eropa. Hingga abad-16 hal tersebut berlangsung relatif damai, semua untung. Boleh dibilang tidak ada apa yang disebut dengan “penjajahan”.Suasana damai tersebut berubah pada abad-16, ketika sejumlah bangsa-bangsa Eropa/Barat hadir ke Asia Tenggara – termasuk ke Kepulauan Indonesia. Mereka hadir dengan perilaku yang berbeda dengan bangsa-bangsa sebelumnya, yaitu memaksakan kehendaknya kepada fihak lain sehingga berkobar konflik yang berdarah-darah. Selain bersaing dengan bangsa Asia, mereka juga bersaing sengit dengan sesamanya – juga hingga berdarah-darah. Khusus di Indonesia – waktu itu dikenal dengan “Nederlandsch Indiche”, masuk abad-20 bangsa Eropa yaitu Belanda memastikan diri sebagai pemenang persaingan dan menjadi penguasa/penjajah. Dengan pengecualian di Kalimantan harus berbagi dengan Inggris, di Timor harus berbagi dengan Portugis dan di Papua harus berbagi dengan Jerman dan Australia.
Perang Dunia-2 (1939-45) berakibat sejumlah bangsa-bangsa di Asia Tenggara meraih kemerdekaan, ada yang melalui transisi namun ada yang melalui revolusi semisal Indonesia.
Kemerdekaan yang diraih tersebut ternyata tidak dapat mengembalikan suasana saling silang dan saling padu pengaruh asing untuk berlangsung dengan damai. Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara sempat terlibat konflik – yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar wilayah tersebut., mengingat wilayah tersebut bernilai sangat strategis sejak lama. Selat Malaka misalnya, sejak awal Masehi telah menjadi jalur laut penting dan masih demikian walaupun sudah ada pesawat terbang/perhubungan udara. Dengan demikian Asia Tenggara – khususnya Indonesia – masih merupakan wilayah menggiurkan : wilayah luas, letak strategis, alam kaya dan penduduk (umumnya) masih terbelakang. Terlalu berharga diabaikan begitu saja. Akibatnya, kemerdekaan yang diraih ternyata tidak membuat fihak asing berhenti mencari peluang menanamkan pengaruhnya. Supaya negara/bangsa di wilayah Asia Tenggara tetap merasa dekat – kalau perlu terikat/tergantung. Dengan kata lain, penjajahan pada hakikatnya belum mati, ia hanya berganti yaitu cara dan rupa. Penjajahan bukanlah suatu barang antik yang layak masuk museum, ia sukses menembus ruang dan waktu selama dunia masih ada. Bahkan pada zaman kita ini pun penjajahan model zaman batu yaitu pendudukan militer asing di suatu negeri ternyata masih ada semisal Palestina, “Iraq dan Afghanistan. Padahal ketiga negeri tersebut kurang menggiurkan dibanding Asia Tenggara.
Perlu diketahui bahwa penjajahan mencakup 3 hal, dan penjajah berusaha memenuhi keinginannya minimal 1 hal. Adapun 3 hal tersebut adalah :
1. Ekploitasi dibidang ekonomi, inilah motif paling dasar penjajahan. Penjajah berusaha meraih negeri yang sekaya mungkin sumber alamnya untuk mengeruknya dengan memberi pribumi sesedikit mungkin.
2. Dominasi dibidang politik, kekuasaan politik sedapat mungkin dipegang oleh penjajah. Suatu negeri diatur menurut kepentingannya dan pribumi menjadi golongan yang diperintah.
3. Penetrasi dibidang nilai/norma, penjajah sedapat mungkin memasukkan nilai/norma yang mereka anut ke dalam tata hidup pribumi. Nilai/norma tersebut dapat berupa agama atau budaya supaya terdapat kesamaan antara penjajah dengan yang dijajah. Hal tersebut membuat penjajah makin mudah mengatur tanah/warga jajahannya.
Dalam konteks Indonesia pasca Perang Dunia-2 dan perang kemerdekaan/Revolusi 1945 (1945-50), sejumlah kekuatan asing berangsur-angsur kembali menanamkan pengaruh. Hal tersebut begitu tertolong karena ada saja sejumlah anak bangsa yang bersedia menjadi antek, umumnya mereka sudah bermental korup. Demi memperkaya diri, mereka tidak segan-segan menjadi alat fihak asing menggadaikan bangsa dan negaranya dengan sejumlah imbalan. Buat para antek, mereka cenderung tidak peduli apakah sumber daya alamnya dikuasai (dan tentu dikuras) fihak asing. Yang penting dapat bagian.
Yang memprihatinkan, para antek tersebar di segala level – bahkan ada yang menjadi elit di pemerintahan. Jabatan yang mereka sandang serta gaji dari uang rakyat melalui pajak, yang mestinya digunakan untuk mengabdi “habis-habisan” untuk rakyat ternyata diselewengkan untuk tujuan yang berlawanan dengan itu. Melalui mereka, entah sudah berapa banyak sumber daya alam negeri ini yang sudah dikuasai/dikeruk fihak asing. Entah sudah berapa % saham aset nasional yang sudah bukan milik bangsa ini lagi. Indonesia mengalami model penjajahan yang jauh-jauh hari sudah diperingatkan oleh Bung Karno dengan istilah “nekolim” (neo imperialisme/kolonialisme). Tidak perlu ada pendudukan militer asing di Indonesia, negeri ini telah “menyediakan” sejumlah anak bangsa yang menjadi antek yang siap melaksanakan agenda asing.
Selain eksploitasi dibidang ekonomi (yang samar-samar juga disebabkan oleh dominasi dibidang politik yaitu para antek yang menjadi elit), Indonesia juga tanpa terasa juga disusupi oleh berbagai nilai/norma asing : dari yang paling liberal (liberalisme) hingga yang paling radikal/fundamental (radikalisme/fundamentalisme). Setiap kepentingan asing ada anteknya. Negeri ini menjadi lahan pertarungan sengit sejumlah kekuatan asing tanpa kita sadari. Kita jalani hidup sehari-hari semisal pergi ke sekolah, ke kantor, ke pasar atau ke tempat wisata seakan-akan tidak terjadi hal-hal yang krusial di negeri ini.
Pertanyaan yang mungkin muncul, siapakah fihak asing yang turut “bermain” di negeri ini? Siapa yang bertekad meraih minimal sepotong atau secuil pengaruh di negeri ini? Penulis menilai banyak, mungkin sulit dihitung atau dideteksi. Karena itu penulis coba batasi menyebut “para pemain” pada 4 fihak saja, dengan pertimbangan mereka relatif besar berpengaruh di negeri ini.
1. Barat, sudah penulis sebut mereka yang pertama mengenalkan penjajahan pada abad-16. Dimulai sejak penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis, bangsa Potugis adalah bangsa Barat pertama hadir bukan hanya sebagai pedagang, pelaut atau perantau namun juga sebagai penjajah. Kehadiran Portugis kemudian diikuti bangsa-bangsa Barat lain dengan tujuan serupa semisal Spanyol, Inggris, Belanda dan Perancis. Kehadiran mereka mengundang perlawanan dari pribumi dan juga bangsa-bangsa Asia lainnya. Bangsa-bangsa Asia kelak terpancing untuk berbuat serupa. Perang Dunia-2 yang berakibat harus melepas wilayah jajahan termasuk Indonesia tidak membuat mereka “kapok” untuk hadir kembali (tetap sebagai penjajah) dalam bentuk lain yang sesamar mungkin. Di atas telah disebut peran para antek yang membuat mereka masih punya pengaruh di Indonesia, antara lain faham liberalisme dengan berbagai dalil (atau dalih?) hak azazi manusia dan demokrasi.
2. Jepang, bangsa Asia yang mungkin pertama paling sukses merebut pengaruh dengan cara gerakan militer. Jepang merasa sesak menyaksikan sekitar 80% planit ini dikuasai Barat dengan berbagai istilah : koloni, protektorat atau mandat. Muncul ide bahwa “Asia untuk orang Asia” – yang dapat (dan memang) diartikan bahwa penjajahan di Asia hanya boleh dilakukan oleh orang Asia, dan bangsa Asia yang paling canggih adalah Jepang. Pada awal Perang Pasifik (1941-5) banyak wilayah jajahan Barat di Asia-Pasifik sempat direbut oleh pasukan Jepang. Setelah melalui perang yang dahsyat kekuatan Barat – dengan istilah “Sekutu” – dapat memaksa Jepang menyerah, namun warisan pendudukan Jepang yaitu semangat anti imperialisme Barat memaksa mereka melepas wilayah jajahannya. Dan Jepang sendiri sanggup bangkit dari puing-puing Perang Dunia-2 dan menjadi raksasa ekonomi selama beberapa dekade. Larangan mengembangkan kekuatan militer oleh Sekutu mengalihkan seluruh energi bangsa untuk menjadi kekuatan ekonomi – yang sempat mengalahkan para pemenang perang dunia. Produk-produk Jepang membanjiri seantero dunia. Dan mimpi lamanya yaitu “Kawasan Sekemakmuran Asia Timur Raya” yang gagal dicapai dengan penaklukan militer agaknya tercapai melalui ekonomi. Indonesia kembali menjadi wilayah penyedia bahan baku sekaligus pasar bagi produk Jepang. Kesepakatan kedua negera yang tertuang dalam “IJEPA” (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) 2007 dinilai sejumlah anak bangsa adalah “penjajahan Jepang jilid-2”, antara lain karena dalam kesepakatan tersebut Indonesia menjamin ketersediaan pasokan energi Jepang dengan LNG. Yang berarti dapat mengancam ketahanan atau kedaulatan energi dalam negeri. Selain itu sejumlah warisan buruk penjajahan Jepang saat Perang Dunia-2 dinilai sejumlah anak bangsa belum tuntas. Perjanjian pampasan perang yang mengawali hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada 1958 hanya mencakup kerusakan materi dan belum mencakup penderitaan lahir batin rakyat Indonesia.
3. Cina, setelah susah payah bangkit dari Perang Dunia-2 dan revolusi yang berbentuk perang saudara yang lama dan kejam, akhirnya terhitung menjadi kekuatan raksasa. Kebangkitan ekonominya berdampak pada kebangkitan militernya. Selain terlibat sengketa dengan Taiwan (Republik Cina) – yang dinilai sebagai provinsi pemberontak, juga terlibat sengketa dengan Jepang, Brunei, Vietnam, Filipina dan Malaysia terkait dengan klaim batas wilayah. Kesepakatan dalam bidang ekonomi yang berwujud perdagangan bebas dengan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara – lazim disebut “ASEAN” – dengan nama “ACFTA” (Asean-China Free Trade Agreement), ternyata berdampak besar bagi Indonesia. Banjir barang produk Cina bagai tsunami membuat para produsen negeri ini meratap dan tiarap, produk dalam negeri ternyata kalah bersaing dengan produk Cina. Hal tersebut berdampak pada kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja. Cina seakan siap menjadi kompetitor Jepang dalam hal ini. Dengan kata lain, Cina mendapat peluang berpengaruh di negeri ini dibidang ekonomi. “Ekspor” faham komunis dan manuver militer agaknya (masih) “jauh panggang dari api”. Indonesia tidak berbatasan langsung dengan Cina dan faham komunis masih dinyatakan terlarang di Indonesia.
4. Arab, agaknya ini kurang diperhatikan padahal usaha meraih pengaruh di negeri ini untuk atau dengan cara bertarung dengan fihak asing lain relatif sudah lama. Sejauh yang penulis tahu, pada akhir abad-18 atau awal abad-19 masuk faham pemurnian agama Islam yang disebut dengan “Muwwahid” namun kelak lebih dikenal dengan “Wahhabi”, nama yang dikaitkan dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Di Sumatera – tepatnya Minangkabau – sempat muncul revolusi yang awalnya melawan para tokoh adat lokal kemudian melawan penjajah, yang disebut dengan “Perang Paderi”(1821-37). Walau gerakan Paderi dapat ditumpas namun fahamnya tetap hidup hingga kini.
Nah, dalam tulisan ini penulis tertarik untuk membahas tentang pengaruh Timur Tengah/Asia Barat (baca : Arab) di Indonesia dengan pertimbangan :
1. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, dengan demikian nyaris semua pengaruh dari sana masuk dengan relatif mudah dan tak terasa. Bukan hanya yang terkait dengan agama namun juga budaya sana, ini dapat terjadi karena bangsa ini sulit membedakan mana agama Islam mana budaya Arab. Bangsa ini – bahkan bangsa lain – masih mengidentikkan Islam dengan Arab (atau Arab dengan Islam). Ada kecenderungan faham mayoritas bangsa ini bahwa untuk menjadi Muslim yang baik hendaklah “Arab minded” atau “menjadi Arab” : pakai gamis, surban, pelihara janggut atau perempuan pakai cadar.
2. Bangsa Arab dan bangsa Indonesia sama-sama mengalami penjajahan Barat. Indonesia dijajah Belanda dan Dunia Arab dibagi-bagi oleh penjajahan Inggris, Perancis, Spanyol dan Italia. Bahkan hingga kini kehadiran negara Israel dengan mencaplok Palestina adalah warisan penjajahan. Apa yang disebut “bangsa Israel” sesungguhnya adalah bangsa-bangsa Eropa yang (kebetulan) beragama Yahudi yang ditindas di benua tersebut lalu mengalir ke Palestina dengan bantuan Inggris, yang beberapa waktu menguasai Palestina dengan istilah halusnya “mandat”. Pendudukan militer asing di ‘Iraq yang dipimpin Amerika Serikat sejak 2003 semakin mengokohkan pendapat bahwa “Barat = penjajah”. Hal tesebut memudahkan muncul faham-faham yang disebut “garis keras” karena memakai kekerasan untuk mencapai tujuan, dengan istilah-istilah “radikalisme”, “fundamentalisme”, “ekstrimisme”, “militanisme” dan “terorisme”. Kesamaan agama yang dianut mayoritas kedua bangsa tersebut menyebabkan muncul solidaritas hingga faham garis keras tersebut masuk relatif mudah ke negeri ini.
Penulis menilai sejak “Peristiwa WTC” 11/09/2011 faham garis keras dari Arab masuk (kembali) dengan begitu intens ke Asia Tenggara. Perang anti penjajah – dengan cap sebagai terorisme – yang dikobarkan kelompok “al-Qa-idah” pimpina Usamah bin Ladin ke seantero dunia juga terasa di Indonesia. Perang kolonial yang kemudian berlanjut dengan perselisihan – bahkan benturan – sesama anak bangsa antara pendukung faham “negara agama” (Islam) dengan “negara bangsa” (Pancasila) sejak lama, menjadikan negeri ini lahan subur bagi faham/gerakan garis keras. “Revolusi Darul Islam” yang sempat melahirkan “NII” (Negara Islam Indonesia) yang berdarah-darah, walaupun dapat ditumpas ternyata tidak dapat menghapus mimpi/ide tersebut. Pasca kekalahan Darul Islam, sejumlah pengikutnya bergerak merekrut anggota walaupun terus menerus dihambat oleh pemerintah. Perioda yang disebut “reformasi” pada 1998 memberi kebebasan para aktivis berazaz Islam – baik yang ekstrim maupun moderat – untuk bergerak dengan rasa lega.
Peneyerbuan dan pendudukan pasukan asing pimpinan Amerika Serikat ke Afghanistan pasca Peristiwa WTC memaksa kaum militan bergerilya di dalam maupun di luar Afghanistan. Sel-sel al-Qa-idah pelan-pelan menyebar dan organisasi tersebut bukan hanya identik dengan nama organisasi namun juga telah menjadi ideologi kaum militan Muslim seantero dunia. Tambahan pula, sistem desentralisasi yang diterapkan kelompok tersebut menyebabkan aksi-aksi kaum militan dapat berlangsung terus walau pucuk pimpinan tertangkap atau terbunuh. Kematian Usamah bin Ladin pada awal Mei 2011 oleh sergapan pasukan khusus AS tidak mengakhiri aksi-aksi kaum militan. Mereka sudah tahu apa yang harus dikerjakan tanpa perlu izin atau perintah pucuk pimpinan.
Di Indonesia, faham atau aktivis DI dan al-Qa’idah bertemu menghasilkan sejumlah aksi kekerasan (atau disebut teroris) semisal Bom Bali-1 (2002), Bom JW Marriott-1 (2003), Bom Kuningan (2004), Bom Bali-2 (2005) dan Bom Marriott & Ritz Carlton (2009). Dari keterangan resmi disebut ada aliran dana dari Timur Tengah dan seorang warga Timur Tengah terlibat. Walau aparat menangkap atau membunuh para tersangka, aksi-aksi militan masih berlanjut. Indonesia pasca Orde Baru seakan tak punya ideologi atau konsep yang jelas bagaimana mengelola negeri ini beserta isinya, ya alamnya ya manusianya. Keadaan tersebut agaknya merupakan peluang bagi sejumlah pengaruh/kepentingan asing untuk masuk dan bermain di negeri ini, termasuk dari Timur Tengah.
Di atas telah disebut bahwa bangsa ini sulit membedakan mana Islam mana Arab. Dari riwayat Islam masuk kemari maka budaya Arab juga ikut masuk. Ciri budaya Arab antara lain feodal dan brutal, ini juga sama dengan budaya Indonesia. Sebelum pengaruh Timur Tengah masuk, riwayat kekerasan sudah ada di Indonesia mengingat sifat bangsa ini memang demikian. Masuknya pengaruh dari sana seakan “merestui” atau “melegalkan” kekerasan. Tatanan tidak adil baik level lokal maupun global menimbulkan reaksi keras dari fihak yang terpinggirkan atau tertindas dalam wujud tindak kekerasan. Sejak Orde Baru tumbang pemerintah seakan (terkesan) bimbang untuk menindak tegas aksi-aksi anarkis, pengalaman masa Orde Baru yang menindas yang berbeda faham dengan pemerintah membuat rakyat alergi atau trauma. Sehingga tindakan tegas dari pemerintah kini mudah dituduh sebagai melanggar hak azazi manusia.
Ada lagi masalah, sebagai akibat cara-cara indoktrinasi ala Orde Baru melestarikan nilai-nilai kebangsaan atau menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila, rakyat trauma dengan segala simbol atau identitas bangsa semisal Pancasila, lagu “Indonesia Raya” – atau pelajaran sejarah bangsa yang disesuaikan dengan penguasa dengan maksud melegitimasi kekuasaan. Pemerintahlah yang menetapkan “siapa yang pahlawan” dan “siapa yang pengkhianat atau musuh bangsa/negara” dalam pelajaran sejarah.Akibatnya ketika rezim Orde Baru tumbang, pelajaran “Pendidikan Moral Pancasila” dan “Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa” dihapus dan dimasukkan ke dalam “Pendidikan Kewarganegaraan”. Inilah yang kelak dinilai sejumlah kalangan menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai kebangsaan. Korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, ekstrimisme, terorisme dianggap sebagai akibat dari lunturnya rasa identitas bangsa.
Sebagai dampak dari faham-faham militan dari Timur Tengah, penulis sempat menemukan tulisan di internet dengan menampilkan istilah “imperialisme Arab” yang dari namanya kemungkinan ia non Muslim sekaligus pro (imperialisme) Barat. Dengan dalil (atau dalih?) menjaga kelestarian identitas bangsa, dengan lancar ia menulis bahwa ada imperialisme Arab dan telah hadir di Indonesia. Dengan antara lain menyebut sejumlah nama tokoh atau ormas keturunan Arab yang dinilai bertindak anarkis ia berusaha membuktikan bahwa kini “Indonesia dijajah Arab, bukan Barat”. Akhirnya ia mengusulkan supaya “keislaman di Indonesia menjadi Islam keindonesiaan” karena “Islam sudah hadir di Indonesia selama ratusan tahun”.
Sepintas, tulisan tersebut masuk akal atau mengandung sejumlah kebenaran – dan mungkin penulisnya bermaksud baik. Namun setelah membaca sekian kali penulis menilai bahwa tulisan tersebut merusak citra Arab yang kelak dapat membahayakan citra kaum Muslim keseluruhan.
1. Tulisan tersebut mencoba membuktikan bahwa penjajah bukan bangsa-bangsa Barat (yang mungkin sipenulis menganut agama yang sama dengan Barat). Tulisan tersebut seakan mengirim pesan,”Bukan cuma non Muslim – terutama Barat – yang menjadi penjajah, namun kaum Muslim juga ada yang menjadi penjajah yaitu Arab”. Ingatan bersama bangsa ini yang cuma mengenang Barat dan Jepang sebagai penjajah dicoba tambahkan dengan Arab/Muslim.
2. Muslim sudah lama dituduh atau dianggap dengan teroris, radikalis,ekstrimis, fundamentalis, anarkis. Tulisan tersebut seakan ingin menambahkan sebutan atau citra buruk sebagai “imperialis/kolonialis”. Arahnya adalah anggapan bahwa Muslim lebih jahat atau biadab dibanding Barat atau non Muslim lain. Barat diusahakan supaya cukup dikenal sebagai imperialis/kolonialis namun Muslim diusahakan dikenal sebagai imperialis/kolonialis selain sebagai teroris, radikalis, ekstrimis dan aduhai entah apa lagi gelar buruk yang disandang.
Namun juga terkesan ada hikmah dari tulisan tersebut, penulis segera dapat menyimak maksud ini dan menyampaikan hal yang sudah lama tersimpan pada batin penulis.
1. Kaum Muslim – terutama Muslim di Indonesia – segera membuang anggapan bahwa bahwa untuk menjadi Muslim yang baik hendaklah menjadi “Arab minded” atau meniru Arab. Fahamilah bahwa Islam dan Arab adalah 2 hal yang berbeda, Islam hadir pertama kali di Arabia untuk memperadabkan (budaya/bangsa) Arab yang pada dasarnya tidak beradab.
2. Fahamilah bahwa Nabi Muhammad diutus untuk mengislamkan orang, bukan mengarabkan. Yang diubah dari umat manusia adalah spiritualnya, bukan identitas ras, suku atau bangsa. Seseorang dapat menjadi Muslim yang baik sekaligus tetap menjadi misalnya orang Cina, orang India, orang Jepang, orang Turki, atau orang Eropa.
3. Bangsa ini perlu memperkuat rasa identitasnya sebagai bangsa dengan cara menyajikan kembali pelajaran sejarah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Dengan demikian bangsa ini tahu asal muasal atau proses terbentuknya bangsa dan negara ini. Metoda hafalan (nama orang, nama tempat, nama peristiwa dan tanggal peristiwa) harus diganti dengan metoda renungan atau analisa peristiwa yang dapat ditemukan relevansinya dengan zaman kini. Jadi, terasa ada kesinambungan antara masa lalu dengan masa kini.
4. Jika pelajaran Pancasila harus disajikan kembali, metodanya juga diubah. Jangan pakai metoda hafalan atau indoktrinasi, tapi pakai juga renungan atau analisa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
5. Segala dinamika yang terjadi pada masyarakat segera disimak dan dicari solusinya, jangan terkesan ada pembiaran oleh pemerintah atau menjadi komoditas politik. Hal tersebut perlu untuk memperkecil peluang fihak asing masuk dan bermain di negeri ini sesuai dengan agenda mereka.
6. Kurangi ketergantungan dengan fihak asing, Indonesia memiliki banyak hal yang tak dimiliki sejumlah fihak luar : alam kaya, wilayah luas dan letak strategis sungguh dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat jika dikelola dengan tepat. Kriterianya adalah selalu mengutamakan kepentingan nasional, mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
7. Bangsa ini perlu suatu standar penyaring yang dapat mencegah faham-faham yang merugikan kepentingan nasional masuk ke negeri ini. Dengan demikian segala faham luar dapat memperkaya dan bukan memperdaya bangsa, atau keragaman di dalam adalah kekayaan dan bukan kerawanan bangsa


SEKIAN JANGAN LUPA SUBSCRIBE AND COMMENT!